Pemain contra bass
di grup musik Payung Teduh yang juga dosen Sastra Inggris di
Universitas Bina Nusantara, Comi Aziz Kariko, kini tengah menekuni
beladiri Brazilian Jiu-Jitsu. “Saya mulai tertarik dengan beladiri
karena waktu kecil suka baca komik, seperti Dragon Ball dan Kungfu Boy. Aristotle juga pernah bilang, a man can only be a real man, if he is master of art, public speaking, and war,
dan saya mencoba melengkapi tiga hal itu melalui apa yang saya jalani.
Bermusik, mengajar, dan berlatih beladiri,” ujar Comi, ketika ditemui
Hitsss di Universitas Bina Nusantara, dalam sebuah sesi wawancara
khusus.
Comi mengenyam pendidikan S1 Sastra
Inggris di kampus tempatnya sekarang mengajar dan melanjutkan S2
Cultural Sudies di Universitas Indonesia. Lulus S1 pada tahun 2006, Comi
yang sudah gemar bermusik sejak SMA diberi hadiah contra bass oleh ibunya. “Waktu itu belum bisa mainnya, jadinya saya kursus, karena sebelumnya terbiasa sama electric bass. Tapi memang saya penasaran dengan contra bass. Suara contra bass itu bagi saya salah satu suara terindah yang dibuat oleh Tuhan, heavenly sound.” Dalam bermusik, Comi mengaku, cukup terpengaruh dengan gaya Norah Jones. “Tone bass-nya Payung Teduh itu ya terpengaruh dari Norah Jones, yang intimate dan relaxing.” tambahnya.
Berawal dari nge-jam di kantin kampus
Payung Teduh terbentuk sejak tahun 2007. Berawal dari Is (vokal dan gitar) dan Comi (contra bass) yang menjadi pengisi musik untuk Teater Pagupon. Mereka pun kerap nge-jam bareng di kantin Fakultas Ilmu Budaya UI. “Bawa alat musik sendiri, sampai ada teman-teman yang bantu membawakan mic, mixer, speaker. Kita membawakan lagu-lagu orang dan juga lagu di Teater Pagupon, ternyata banyak yang suka.” kenang Comi.
Kemudian bergabunglah Cito (drum) dan Ivan (guitalele)
melengkapi Payung Teduh. Tahun 2010 mereka membuat album pertama dengan
biaya sendiri. “Yang penting saat itu mikirnya kita harus punya karya,
karena karya itu peninggalan, kalaupun kita udah tidak ada nantinya,
setidaknya karyalah yang akan dikenang. Jadi uang yang kita dapat dari
bekerja, kita gunakan untuk berkarya. Terlepas orang akan suka atau
tidak, yang penting berkarya saja dulu,” ujar pria berusia 31 tahun itu.
Sejak itu, mereka mulai tampil di
berbagai acara, dari mulut ke mulut dan media sosial, Payung Teduh
semakin dikenal masyarakat. Tahun 2012, mereka mendapat penghargaan
Album of The Year dari Majalah Tempo dan Best New Comer di ajang
Indonesia Cutting Edge Music Award (ICEMA) pada tahun yang sama.
Musik Payung Teduh kental dengan lirik-lirik puitis dan musik yang syahdu. Judul-judul lagu seperti Resah, Kucari Kamu, Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan, Cerita Tentang Gunung dan Laut,
selalu berhasil membuai penikmatnya. Meski berlirik penuh majas dan
perumpamaan, musik Payung Teduh dapat diterima banyak kalangan. Terbukti
dari tumbuh dengan sendirinya fan base band ini di berbagai kota di Indonesia. Dan dalam satu bulan, mereka bisa manggung sebanyak 10-15 kali. “Capek sih,
kadang kalau manggung di luar kota hari Minggu malam, sampai Jakarta
Senin pagi dan sudah harus mengajar lagi. Dalam seminggu, saya latihan
Brazilian Jiu-Jitsu 2-3 kali di malam hari. Tapi saya menikmati
semuanya. Kadang kalau lagi tidak ada manggung, saya juga ikut kompetisi
Jiu-Jitsu.”
Tidak lelah berkarya
Menjalani tiga hal sekaligus, tidak
berarti memiliki kemampuan setengah-setengah di tiap bidangnya. “Kita
bisa jadi ahli di berbagai bidang yang kita ambil, asalkan mau jadi
lebih capek saja.” Meski begitu, Comi mengaku masih ingin kursus contra bass, karena merasa belum ahli. Ia juga kangen mengajar musik, karena sebelumnya juga ia pernah mengajar bass electric di Willy Soemantri Music School pada tahun 2004.
Comi juga memiliki dojo (tempat latihan beladiri), bernama Lutador. Di tengah kesibukannya yang padat, Comi masih menyempatkan untuk bermain game. “Dulu main game
bisa 4-5 jam sehari, sekarang paling 2-3 jam. Untungnya aku tidak
pernah sampai stres biarpun sibuk, karena pengalihan stresnya banyak. Ya
musik, ya latihan Jiu-Jitsu, dan main game,” ujarnya sembari tertawa.
Mendengar orang-orang ikut bernyanyi
ketika tampil, memberikan kesenangan tersendiri bagi musisinya, dan
melihat anak didiknya bisa menjadi lebih pintar dan cerdas adalah buah
prestasi dari seorang pengajar. Kedua hal itu memberikan kebahagiaan
yang cukup bagi Comi. “Kalau untuk bermusik saya rasa, ini sudah
melebihi ekspektasi. Yang penting berkarya terus, buat album, karena
album itu ibarat perpanjang KTP,” cetusnya.
Album kedua Payung Teduh, Dunia Batas,
bekerjasama dengan label Ivy League. Di album ketiga yang kini sedang
digarap, mereka kembali mengupayakannya tanpa label. Rencananya, pada
album baru nanti akan ada lagu dengan lirik denotatif dan musik yang
lebih easy listening. Tidak semua track dibuat akustik karena ada beberapa yang diberi nuansa elektrik.
“Ke depannya, saya ingin banyak ikut pertandingan Jiu-Jitsu, dan bisa naik sampai black belt.
Kemudian lanjut S3 lagi, bahkan kalau bisa sampai profesor, dan kalau
bisa saya ingin memenuhi keinginan ibu saya untuk menikah, cuma calonnya
saja belum ada,” ujarnya sambil tersenyum. (AR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar